Santri; Refleksi Integritas Negeri

Santri dalam artian khusus merupakan seseorang yang mengikuti pendidikan di pesantren. Pendidikan pesantren memiliki beberapa karekteristik sistem, antara lain: kebebasan terpimpin, kebersamaan tinggi, sikap hormat dan sayang, cinta ilmu, mandiri, dan mengajarkan kesederhanaan. Para santri tentunya memiliki kelebihan dalam belajar; melalui keteladanan, latihan dan pembiasaan, mengambil pelajaran, nasehat, kedisiplinan, serta pujian dan hukuman. Santri memiliki tujuan khas yakni membentuk kepribadian muslim yang menguasai ajaran agama Islam dan ilmu alam untuk  mengamalkannya sehingga bermanfaat bagi lingkungan. Santri dituntut untuk bisa menguasai ilmu secara universal dan sesuai kebutuhan masyarakat serta mengembangkan kreativitas. Santri sangat diharapkan untuk berbenah diri dalam menyikapi perubahan zaman dengan segala tuntutannya dalam setiap lini kehidupan. Dalam hal ini, sebagai pemangku kebijakan pesantren tidak boleh terlalu rigid dalam menyikapi perubahan dan harus bersifat fleksibel dengan keadaan lingkungan sekitar.

Dalam hal mencari ilmu, bagi santri menghabiskan waktu bertahun-tahun di pesantren tidak pernah dirasakan sebagai kerugian. Hal tersebut sebagai bentuk ibadah dan bagaimana kecintaan kepada ilmu-ilmu agar tertanam begitu kuat. Sikap cinta ilmu kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk penghormatan santri yang sangat dalam kepada ahli ilmu, kesediaan berkorban dan bekerja keras untuk menguasai ilmu-ilmu tersebut, dan kerelaan bekerja, juga aktor penebar ilmu yang siap menjawab tantangan globalisasi.

Peran dan keikutandilan santri dalam membangun masyarakat bukan hal yang perlu dibahas. Kata-kata tersebut sudah seharusnya melekat dalam diri santri. Para santri mondok bukanlah hanya sekadar tentang mimpi untuk diri sendiri, tapi mimpi kedua orang tua pula, mimpi keluarga, dan orang-orang yang mencintainya. Jangan sampai usai menyelesaikan studi, santri tidak mendapat apapun yang tak ubahnya pakaian kumal yang menumpuk di almari. Membanggakan hafalan namun nihil amalan. Mimpi baik santri selalu menuntunnya bangun lebih pagi. Mereka yang berhasil adalah mereka yg mampu memimpin; menjadi pemimpin atas dirinya sendiri.

Indonesia akan terus berkembang jika manusia pengisinya tidak hanya menggemborkan teori, teori dan teori bahkan malah provokasi negatif. Jika kita tidak mampu menjadi pribadi yang berkualitas maka jadilah pribadi yang tau diri sehingga sadar perlunya meningkatkan kompetensi. Jika keduanya tidak ada pada diri kita, maka sepertinya kecebong akan lebih mulia karena ia bisa dijadikan objek pengamatan kaum biologi. Untuk itu ambillah peran sebisa kita. Posisikan diri kita pada posisi yang tepat. Jika diri kita adalah angka kecil maka berdirilah di belakang. Namun jika diri kita dinilai sebagai angka besar, maka pastikan diri kita berdiri di depan barisan angka yang lebih kecil, sebagai pemimpin yang amanah.

Santri sebagai anak yang dididik dalam lingkungan yang penuh kesantunan, etika, tata krama, dan sikap kesederhanaan akan tumbuh menjadi anak anak yang tangguh, disenangi, dan disegani banyak orang. Mereka tahu aturan makan table manner di restoran mewah, tapi tidak canggung makan di warteg/kaki lima. Mereka sanggup beli barang-barang mewah, tapi tahu mana yang keinginan dan kebutuhan. Mereka biasa pergi naik pesawat antar kota-antar provinsi-antar pulau bahkan antar negara, tapi santai saja saat harus naik angkot kemana-mana. Mereka berbicara formal saat bertemu orang berpendidikan, tapi mampu berbicara santai bertemu orang jalanan. Mereka berbicara visioner saat bertemu rekan kerja, tapi mampu bercanda lepas bertemu teman sekolah. Mereka tidak norak saat bertemu orang kaya, tapi juga tidak merendahkan orang yang Nampak lebih rendah darinya. Mereka mampu membeli barang-barang bergengsi, tapi sadar kalau yang membuat dirinya bergengsi adalah kualitas, kapasitas dirinya, bukan dari barang yang dikenakan. Santri mampu menggapai harta, tahta, dan strata tapi tidak meneriakkannya kemana-mana. Kerendahan hati yang membuat orang lain menghargai dan menghormati dirinya.

Santri tidak sedang belajar kemanjaan, apalagi sampai melupakan etika. Hal-hal sederhana tentang kesantunan seperti: menyapa rekan dan gurunya, permisi saat bertamu-menyapa orang-orang yang ada di rumah itu, mengembalikan pinjaman sekecil apapun, berani minta maaf saat ada kesalahan, hingga tahu berterima kasih jika dibantu sekecil apapun. Kelihatannya sederhana, tapi orang yang tidak punya attitude tidak akan mampu melakukannya. Bersyukurlah, bukan hanya karena kita terlahir di keluarga yang kaya atau cukup, namun bersyukurlah karena kita terlahir di keluarga dan lingkungan yang mengajarkan kita kesantunan, etika, dan tata karma. Dan dari situlah akan terbentuk masyarakat madani, masyarakat yang profetik untuk membangun peradaban manusia mengiringi kemajuan sains dan teknologi. Santri sebagai sosok bagian generasi penerus bangsa tentunya harus memiliki nilai lebih. Masa muda yang diasah dalam kedisiplinan dan etos berpikir dan bekerja yang kuat mampu menjadikan pribadi yang menghafal al-Qur’an dan mengamalkannya, memiliki intelektual yang tinggi, akhlaq yang menawan, dan finansial yang kuat. Bekal inilah yang membawa peran santri bagi negeri. Kita semua menunggu kiprah santri yang sebenarnya. (writer: FM)